Nenek moyang manusia modern, Homo sapiens, mulai muncul dan tinggal
di kawasan Afrika 150.000-200.000 tahun lalu. Mereka mulai bermigrasi ke
luar Afrika 70.000 tahun lalu dan menyebar ke seluruh dunia. Pada
periode yang lebih kurang sama, 74.000 tahun lalu, terjadi letusan
dahsyat Gunung Toba di Sumatera. Mungkinkah kedua peristiwa ini saling
memengaruhi?
Tidak mudah menjawab pertanyaan tersebut. Kejadian
yang sudah berlangsung ribuan tahun itu hanya bisa dibuktikan lewat
jejak peninggalan mereka. Ironisnya, semua bukti tampaknya terkubur
material yang dimuntahkan Gunung Toba.
Paling tidak begitulah
kesimpulan Craig Chesner, geolog dari Eastern Illinois University.
Letusan terakhir Toba menimbun nyaris seluruh daratan Sumatera mulai
dari Samudra Hindia di sebelah barat hingga Selat Malaka di sebelah
timur. Ketebalan material rata-rata 100 meter dan di beberapa area
bahkan mencapai 400 meter.
Sebagai bandingan, jejak arkeologi yang
terkubur letusan Gunung Tambora di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (1815),
ditemukan pada kedalaman 3 meter di bawah lapisan piroklastik, batuan
apung, abu, dan tanah lempung. Berdasarkan Volcanic Explosivity Index,
kekuatan letusan Tambora adalah pada skala 7 dari 8, hanya kalah dari
letusan Gunung Toba ribuan tahun sebelumnya.
Untunglah ilmu
pengetahuan terus berkembang. Kini, upaya memahami asal-usul manusia
modern bisa dilakukan dengan membaca urutan sekuen DNA (deoxyribonucleic
acid) atau rantai panjang polimer nukleotida yang mengandung informasi
genetik untuk diturunkan.
Selain informasi genetik, DNA juga bisa
menginformasikan riwayat kehidupan nenek moyang kita. Di sinilah
perubahan dalam tubuh terekam—seiring dengan perubahan pola makan,
lingkungan, ataupun aktivitasnya—dan memberikan gambaran bagaimana
sebenarnya pola kehidupan yang mereka jalani. Hasil perbandingannya
dengan DNA populasi di berbagai tempat lain menggambarkan proses
berlangsungnya migrasi dan bagaimana hubungan kekerabatannya.
”Keragaman
genetik manusia adalah arsip evolusi manusia selama ribuan tahun yang
dapat dieksplorasi dari berbagai disiplin ilmu,” kata Prof dr Sangkot
Marzuki, MSc, PhD, DSc, Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman.
Maka,
ketika digagas studi besar untuk memetakan genetik populasi bangsa Asia
tahun 2004, Lembaga Eijkman antusias ikut serta. Dalam penelitian yang
berlangsung lima tahun, 93 peneliti dari 40 institusi bergabung dalam
penelitian ini. Mereka berasal dari Jepang, Korea, Malaysia, Filipina,
Singapura, Thailand, Taiwan, China, Nepal, India, dan tentu saja
Indonesia.
Disebut Konsorsium Pan-Asian SNP (Single Nucleotide
Polymorphism), tujuan proyek memang untuk memahami asal-usul keragaman
genetik di Asia. Di bawah payung Human Genome Organisation, studi
meneliti DNA pada 73 populasi di Asia Tenggara dan Asia Timur dengan
sekitar 2.000 sampel darah untuk mendapatkan 50.000 marka (titik data)
per sampel.
Marka tersebut adalah single nucleotide polymorphisms
(SNPs), suatu tempat pada kromosom yang membedakan individu satu dengan
lainnya. Jumlah variasinya, disebut haplotype, mengindikasikan kedekatan
dua individu secara genetik. Maka, distribusi haplotype secara
geografis akan menunjukkan jejak migrasi, termasuk yang berlangsung pada
zaman prasejarah.
Rute selatan
Penelitian
sebelumnya—dimuat dalam Proceedings of the National Academy of Sciences
(1999)—menyimpulkan bahwa Homo sapiens dari Afrika yang menjadi nenek
moyang manusia modern bermigrasi lewat tiga rute: Oseania, Asia yang
sebagian lagi berlanjut ke Amerika, dan Eropa.
Temuan pada mitokondria
DNA yang diwariskan dari kromosom ibu dikonfirmasi dengan filogeni
kromosom Y yang hanya ada pada pria.
Selanjutnya studi genetik
Konsorsium Pan-Asian SNP yang selesai tahun 2009 menemukan, jalur utama
migrasi manusia modern ke Asia adalah melalui Sunda Besar yang sekarang
dikenal sebagai kawasan Asia Tenggara. ”Temuan ini melawan arus besar
teori migrasi yang menyebutkan bahwa nenek moyang kita berasal dari Asia
bagian utara,” kata Sangkot.
Selama ini, migrasi Homo sapiens ke
Asia dipercaya berasal dari tempat singgah mereka di kawasan Timur
Tengah dan berlangsung dalam dua gelombang. Gelombang terbesar berjalan
melintasi stepa Eurasia dan kemudian berbelok ke selatan melalui daratan
Asia. Gelombang kedua yang dianggap tidak berperan penting bergerak
melewati pesisir selatan memutari India menuju Indonesia, Malaysia,
Filipina, sebelum ke Pasifik.
Namun, studi terakhir membuktikan
keragaman genetik justru makin berkurang dari selatan ke utara. Sebagian
besar kode genetik yang ditemukan di Asia Timur ternyata lebih banyak
lagi ditemukan di selatan. Artinya, Homo sapiens bermigrasi ke Asia
hanya dalam satu gelombang melalui rute pesisir selatan (Science, 2009).
Tempat
persinggahan utama mereka adalah Sunda Besar. ”Dengan demikian, Asia
Tenggara-lah sumber geografis utama populasi Asia Timur dan Asia Utara,”
ujar Sangkot.
Apabila dikaitkan dengan letusan Toba, temuan itu
juga menunjukkan bahwa nenek moyang kita ternyata mampu bertahan dari
bencana dahsyat yang berpotensi memusnahkan kehidupan.
”Skenario
survival tersebut didukung bukti dari rekam jejak DNA pada populasi di
kawasan Wallacea yang menunjukkan campuran gen dengan populasi dari
kawasan Sunda Besar. Selain itu, ada temuan fosil dan peninggalan
manusia purba di Gua Niah, Sarawak. Dari umurnya, temuan Niah
mengindikasikan bahwa mereka tidak musnah karena letusan Toba,” papar dr
Herawati Sudoyo, MS, PhD, Deputi Direktur Lembaga Eijkman.
Sumber : Kompas
0 comments:
Post a Comment
Please comment and your comments are very useful for the development of this blog. Do not forget to comment ethics, and do not waste time trying to spam. Thank You!