Warga Madura menyebutnya Sapudi, diambil dari nama Adipoday, putra
tertua Panembahan Balinge, penguasa pulau itu. Namun, masyarakat Jawa
menyebut Sapudi akronim dari sapi ten pundi-pundi atau sapi di
mana-mana.
Pulau yang terletak di timur Madura
itu menjadi sentra pemasok sapi ras Madura terbesar di Nusantara.
Meneguhkan kisah dewa dan dewi sapi yang akhirnya memunculkan para
juragan baru dari Sapudi.
Di pulau yang hanya seluas 35 kilometer
persegi itu, sapi memang ada di mana-mana. Kadang melintas di
jalan-jalan desa, memenuhi lapangan karapan, hingga ikut antre tuannya
menyeberang di pelabuhan.
Populasi ternak di Sapudi hampir tak
pernah menyusut meski terus diperdagangkan ke sejumlah pulau. Jumlahnya
berdasarkan data sensus ternak tahun 2011 sekitar 39.977 sapi atau
mendekati jumlah warganya yang sebanyak 50.996 orang.
Konon, dewa
dan dewi sapilah yang menjaga populasi ternak sapi di Sapudi.
”Kedua-duanya adalah hewan kesayangan Panembahan Balinge, bangsawan yang
pertama kali menempati Pulau Sapudi pada abad ke-10. Legenda itu masih
dipercaya warga,” kata Taha (76), sesepuh warga Sapudi, pada suatu sore,
akhir Maret lalu.
Sapi-sapi milik Adipati itu istimewa: kokoh dan
elok. Karena itulah, Balinge menjadikan sebagai hewan kesayangan. Dari
sepasang sapi itu, sapi-sapi Sapudi berkembang biak. Keturunannya
mewarisi kekokohan dan keelokan induknya. Mereka terus beranak pinak
hingga akhirnya populasinya membesar dan menyebar di Pulau Sapudi.
Namun,
di balik kisah dewa dan dewi sapi, ternak di Sapudi berkembang karena
kearifan masyarakat sekitar. Di pulau ini, warga hampir tidak pernah
melepas sapi induk untuk diperdagangkan. Panjito, peternak sapi,
misalnya, tetap memelihara Putre Koneng, sapi betina besar
yang ia rawat sejak kecil. Panjito yang juga penjaga situs Dewi Sapi di
Sapudi seolah mengulang perilaku sang bangsawan Balinge yang sayang
kepada ternaknya.
Di Sapudi, warga sangat jarang menyembelih sapi.
Menurut Dede Iswahyudi, Ketua Paguyuban Peternak Sapi Dharma Maesa di
Sapudi, profesi jagal bahkan nyaris tak ada.
Bagi peternak sapi,
membawa sapi ke tukang jagal adalah pilihan terakhir. Warga Sapudi lebih
memilih membeli rumput dengan harga Rp 50.000 dan puasa asal sapinya
bisa makan.
Warga Sapudi juga melarang sapi dari ras lain masuk ke
Sapudi. M Hasan, yang juga juragan sapi, mengatakan, sapi dari ras lain
bisa mengubah keturunan asli dewi sapi. Kearifan lokal inilah yang
turut menjaga kemurnian genetik sapi ras Madura, selain dari aturan
pelarangan masuknya sapi ras lain yang tertera di staatsblad tahun 1934
hingga kini (baca buku Sapi Madura sebagai Ternak Kerja, Potong, Karapan
dan Sonok, Gunawan MS, 1993).
Madura dalam Sapudi
Mayoritas
warga Sapudi memang pencinta sapi, seperti suku Madura umumnya.
Ditelisik dari sejarah, warga Sapudi punya keterkaitan erat dengan
Kerajaan Sumenep. Putra sulung dari Panembahan Balinge, yakni Adipoday
(Sapudi), adalah ayah dari Joko Tole, penguasa Sumenep (baca Babad
Sumenep, Raden Werdisastra, 1914).
Tidak heran jika dalam hal
memperlakukan sapi, warga Sapudi berperilaku sama dengan warga Madura
umumnya. Mereka menganggap sapi sebagai barang yang sangat berharga dari
sisi ekonomi dan sosial.
Eratnya hubungan warga Madura dengan
ternak sapi, menurut budayawan dari Sumenep, Edhi Setyawan, tidak lepas
dari budaya agraris di masyarakat Madura. Sapi menjadi terlalu berharga
untuk disembelih karena memudahkan kerja petani, bernilai investasi
tinggi, dan bisa menaikkan status pemilik (baca Garam, Kekerasan, dan
Aduan Sapi, Huub De Jonge, 2012).
Dari sapi, roda ekonomi warga
Sapudi turut berputar. Meski hanya pulau kecil, Sapudi menjadi pusat
perdagangan sapi teramai di Madura. Sekitar 4.000 sapi bibit dikapalkan
ke pulau lain per tahun. Pulau ini selalu disinggahi saudagar dari
berbagai penjuru tempat untuk memburu sapi pilihan.
Gambaran
ramainya pasar sapi terlihat setiap kali pasaran sapi pada Rabu. Hasan
mengatakan, para saudagar akan datang berduyun-duyun menyeberangi Selat
Madura untuk membeli sapi di Pasar Ternak Gayam.
Dari perputaran ekonomi itulah muncul para juragan sapi. Mereka menjadi juragan setelah berhasil menernakkan sapi. Mereka juga mendapatkan untung besar dari hasil mencetak sapi karapan yang berharga tinggi.
Sapi
tidak hanya menjadi dagangan bagi warga Sapudi, tetapi juga menjadi
kesenangan, gaya hidup, bahkan status sosial. Pamor dan status sosial
warga bisa meroket karena sapi yang mereka miliki.
Di Sapudi,
orang kaya dilihat dari rumahnya yang bagus dan jumlah ternak sapi.
Mobil, baju bermerek, ataupun gadget canggih hanya nomor kesekian. Toh,
di Sapudi, jalan kampung masih sempit dan belum mulus. Sinyal telepon
ada, tetapi miskin sinyal pengiriman data.
Juragan yang punya
ternak banyak pun akan dihormati warga karena mereka turut mengangkat
perekonomian warga yang tak mampu dengan memberikan pekerjaan sebagai
pemelihara sapi.
Dewa dan dewi sapi di Sapudi mungkin hanya mitos,
tetapi legendanya telah memberi warna kehidupan yang kaya kepada warga
Sapudi, Madura, bahkan Nusantara.
Sumber : Kompas
0 comments:
Post a Comment
Please comment and your comments are very useful for the development of this blog. Do not forget to comment ethics, and do not waste time trying to spam. Thank You!